Kualitas hidup merupakan konstruk multidimensi yang menunjukkan tingkat kesejahteraan pada beberapa dimensi penting dalam kehidupan, sesuai dengan konteks budaya dan sistem nilai yang mengikuti standar umum hak asasi manusia. Perubahan awal dalam kualitas hidup, status klinis, dan program pengobatan atau intervensi memiliki dampak penting pada status mental dan kualitas hidup jangka panjang penderita skizofrenia. Pasung merupakan intervensi yang tidak tepat bagi penderita skizofrenia, tindakan ini juga sering disebut sebagai salah satu tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Ada beberapa kondisi yang memprihatinkan yang dialami oleh penderita skizofrenia saat di pasung, sehingga dalam jangka panjang dapat berdampak pada status mental dan kualitas hidup penderita skizofrenia yang pernah mengalami tindakan pemasungan tersebut.udPenelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui gambaran status mental dan kualitas hidup penderita skizofrenia pasca pasung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus yang diharapkan dapat menggali fokus penelitian secara lebih mendalam. Subjek penelitian ini adalah dua orang laki-laki penderita skizofrenia yang berusia 18 – 40 tahun, pernah di pasung selama ≥ 5 tahun, dan sudah dibebaskan dari pasung selama 12 bulan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah riwayat hidup, wawancara, observasi, tes psikologi, dan studi dokumentasi.udHasil penelitian ini menggambarkan kondisi status mental dan dimensi kualitas hidup berbeda dialami pada kedua subjek pasca mengalami pemasungan. Status mental subjek M saat ini masih menunjukkan perilaku aneh dan karakteristik atipikal skizofrenia, mampu memberikan respon emosional yang tepat terhadap hal-hal yang terjadi, gangguan bermakna pada fungsi persepsi dan pikiran, fungsi intelektual subjek berada pada tingkat IV- (definitely below average in intellectual capacity) dengan nilai RS = 24, mampu mengendalikan impuls negatif, orientasi dan daya ingat utuh, reliabilitas baik, serta tilikan subjek cukup baik, sehingga meningkatkan kesadaran subjek terhadap pentingnya pengobatan. Sedangkan pada status mental subjek JR kini juga masih menunjukkan perilaku dan penampilan atipikal skizofrenia, afek datar, gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik dan gejala paranoid, flight of ideas, mampu mengendalikan impuls negatif, masih mengalami disorientasi waktu dan gangguan daya ingat, fungsi intelektual berada pada tingkat terendah yaitu tingkat V (intellectually defective) dengan nilai RS = 17, pertimbangan dan tilikan buruk, dan reliabilitas cukup baik pada orang yang dianggap subjek JR dapat dipercaya. Kualitas hidup lebih baik ditemui pada subjek M, yang menunjukkan kemampuanudxixudcukup baik pada dimensi kesehatan fisik dan psikologis, sedangkan keempat dimensi kualitas hidup yang dikaji pada subjek JR menunjukkan masalah yang cukup menonjol, terutama pada dimensi hubungan sosial. Hal ini juga ditemui pada hasil skoring skala WHOQOL-BREF, diketahui bahwa skor tertinggi subjek M didapat pada dimensi kesehatan fisik dan psikologis dengan skor 44, dan skor terendah subjek M berada pada dimensi hubungan sosial yaitu 31, namun jika skor tersebut dibandingkan dengan skor dimensi hubungan sosial subjek JR yang hanya mendapatkan skor 19, dimensi hubungan sosial subjek M masih lebih baik dari subjek JR. Jika diletakkan pada range score WHOQOL-BREF Scale 0-100, skor rata-rata kualitas hidup kedua subjek pasca pasung (subjek M = 39,25 dan subjek JR = 34,75) berada dibawah titik tengah = 50 atau lebih mendekati 0, sehingga dapat diartikan bahwa kualitas hidup kedua subjek rendah. Dibandingkan penderita skizofrenia yang dirawat di RSJ, dapat diketahui bahwa pemasungan yang dipilih keluarga sebagai intervensi terhadap subjek penderita skizofrenia merupakan intervensi yang tidak tepat, karena justru memperlama gangguan skizofrenik yang diderita subjek, sehingga disarankan untuk RT yang memiliki ART dengan gangguan skizofrenia agar tidak menerapkan pasung.udKata kunci: Status Mental, Kualitas Hidup, Skizofrenia, Pasca pasung.
展开▼